Thursday, 29 November 2018

Karate, Melukis, dan Zen

Mencoba hal baru dengan melukis menggunakan limbah kaca serta bahan padat lainya. Ya..., mempelajari dan jika mungkin menguasai beberapa seni seperti kaligrafi, menulis syair, yoga, melukis, kirigami, origami, seni drama/teater, bahkan menata taman/kebun dan lain-lain dimana disamping tujuannya adalah untuk memperhalus budi pekerti dan moral, melatih fokus dan kesabaran, melatih pergerakan tubuh dan nafas, juga seni tersebut adalah sebagai bukti pencapaian Zen yang lebih baik. Saya yang juga sebagai seorang "kacung dan jongos" dari Jalan Karate memilih melukis untuk mendampingi saya melalui tapak demi tapak jalan ini; mengumpulkan titik demi titik dan menyatukan garis demi garis untuk menghadirkan maksud dari sesuatu yang sebetulnya tak terpahami pada awalnya.
Meski sendiri dan hening namun semua kekosongan itu memancarkan ketenangan, dan aku bangga akan semua itu. Hidup ini memang lengkap, tiada tercecer sedikitpun, ia seperti awan yang hadir.... dan kepergian seperti awan yang terbang melayang jauh. Yang membekas bukan lagi hampa, namun kebajikan yang ditinggalkan dari sesuatu yang ia perbuat. Demikianlah awalnya ketika kita hadir dengan kekosongan.. pun pergi dengan kekosongan.....



Beberapa hasil karyaku:

"Perempuan Penenun Hujan"

"Selir Sang Daimyo"

"Geisha"

"Beethoven"

"Geisha"(1)


"Johann Sebastian Bach"

"Miyamoto Musashi"
(Dari Sampul Novel Berjudul:
Miyamoto Musashi, Karya:
Eiji Yoshikawa)

"Payung Sang Geisha"


"Kupu-Kupu"
"Pesanan Dari Kyoto"

"Heiko Dachi, Joi !" (Pekikan Sederhana Bermakna Luar Biasa)

Di dalam karate ada sebuah prinsip pokok yang harus mendasari gerakan-gerakan karate maupun sikap dan cara berpikir karatekanya. Prinsip itu adalah KARATE NI SENTE NASHI, karate tidak pernah membuat serangan terlebih dahulu. Itulah yang menyebabkan semua jenis KATA dalam karate diawali dengan tangkisan.
 Terkadang hal kecil ini dilupakan oleh seorang Karate Ka Gojukai, melakukan sikap "joi" tersebut dengan asal-asalan, hanya sekadar melekatkan kedua tangan tanpa membentuk gerakan yang sebenarnya adalah teknik tangkisan bawah Gedan Uke atau Kogan Uke atau Gedan Juji (Jiuji) Uke dimana telapak tangan terbuka pada posisi DISILANGKAN. Tujuan damai harus tetap kita pertahankan yang dilambangkan dalam sikap tersebut, ini adalah cerminan bahwa Karate Ka lebih menjaga sikapnya dan emosinya ketimbang keinginannya untuk bertarung dan menjatuhkan lawan-lawannya., "Satu musuh terlalu banyak, seribu kawan amatlah sedikit".
Karate mengajarkan kita bagaimana menghargai, bagaimana menjaga sikap, kesantunan, dan inti dari semua itu adalah bahwa kedamaian adalah tujuannya sebab "JOI" itu sebenarnya adalah filsafat seorang pecinta damai. Jadi, mari kita mengawali latihan kita dengan melakukan teknik tersebut dengan sebenarnya dan memahami akan apa makna dari semua itu.
Tegukan akhir dari secangkir kopi tadi menyisakan ampas kopi dan harapan semoga coretan sederhana ini bisa bermanfaat meski hanya sebatas bacaan pengisi waktu. Satu pepatah mengakhiri coretan ini yang kira-kira berbunyi:


" Hanya karena kurang satu paku, tapal kuda terlepas. Karena kurang satu tapal kuda, kudanya tidak bisa berlari. Karena kuda tidak bisa berlari, pesan tak tersampaikan. Karena pesan tak tersampaikan, menjadi kalah dalam perang."


Terima kasih.

  Hezron Tandungan: "Kehormatan tidak terfahami hanya dengan sebaris kata bahkan segumpal aksi, namun bagaimana menghargai kehormatan itu sendiri."

Zenkutsu Dachi Chudan Uke no Kamae: PRINSIP SEBAGAI PEMBEDA




Tahun 1999 jika ingatan masih belum pudar, saat itu sahabat dan saudara saya Shihan Saut Siregar sedang memimpin kegiatan pemusatan latihan dalam even kejuaraan Karate Se-Prov.Kaltim Tahun 1999 setelah sebelumnya saya memimpin gerakan pemanasan (junbi undo). Dalam satu gerakan pembuka dan sikap tempur (kamae) Zenkutsu Dachi Gedan Barai, saya satu-satunya yang tetap menggunakan sikap Zenkutsu Dachi Chudan Uke no kamae (te). Mungkin beliau tidak melihat saya pada saat itu ataupun beliau memang melihat namun tidak mempermasalahkan karena saya yakin bahwa beliau paham akan karakteristik, metode dan prinsip dasar karate yang saya anut. Disamping itu juga beliau memang adalah keluarga karate (anak isteri yang semuanya karateka senior) yang tetap konsisten hingga kini berada di jalur karate yang ia tempuh. Salam hangat dari saya saudaraku Shihan Saut Siregar.

 Menamakan diri karateka Goju, dan memasang badge Gojukai serta mengucapkan Janji Karate-Do Goju,
tak akan ada gunanya jika cara berpikir dan yang dimainkan kontras dengan teknik-teknik Goju. Goju, memiliki Gedan Barai (Harai Otoshi Uke) yang titik startnya bukan dari telinga, melainkan dari muka dalam bentuk lingkaran. Ini berbeda dengan beberapa aliran karate yang mengambil titik startnya dari telinga karena menganut prinsip "garis lurus". Jadi sangatlah tidak benar kalau karateka Goju melakukan teknik Harai Otoshi Uke dengan prinsip "garis lurus" tadi. Ketika Goju melakukan teknik sebagaimana dikemukakan diawal yakni: Zenkutsu Dachi + Gedan Barai (Harai Otoshi Uke) maka tangkisannya akan "menabrak dachi" tadi karena prinsip goju adalah melingkar (mawashi) dimana Gedan Barai-nya yang melingkar inilah alasan mengapa teknik Goju tidak melakukan tangkisan bawah Harai Otoshi Uke (Gedan Barai) dalam posisi Zenkutsu Dachi. Hal ini sejalan pula dengan apa yang dijelaskan Kyoshi Shihan Prof. Achmad ali, mendiang dalam bukunya "Prinsip-Prinsip Pokok Karate-Do Goju", bahwa kita tidak akan menemukan satupun KATA Gojukai yang didalamnya ditemukan gerakan Harai Otoshi Uke (Gedan Barai) dalam posisi Zenkutsu Dachi, tetapi umumnya Gedan Barai itu ada dalam sikap Shiko Dachi.

 Demikianlah gaya Goju, gaya yang dipengaruhi oleh unsur dari Tai Chi Chuan yang diformulasikan oleh Master Chansanfeng dan Pakua Chang yang dikembangkan oleh master Tung Hai Chuan, yang menganut prinsip lingkaran dan memutar itu.


Hezron Tandungan: "Membijaki dan mengajarkan apa yang tak difahami bahkan dialami..., ibarat mengajar angin cara untuk berhembus."

Sunday, 11 November 2018

Haiku: "Tak Terkalahkan Oleh Hujan" (Kenji Miyazawa, 1896 - 1933)

Tak terkalahkan oleh hujan
Tak terkalahkan oleh angin 
Tak tertundukkan oleh salju dan musim panas menerpa 
Tegar dalam raga 

Tak terkekang oleh keinginan 
Tak terpikat dalam kemarahan 
Selalu dalam kedamaian

Dengan segenggam penuh nasi merah 
Miso dan sejumlah sayuran cukuplah sudah 

Apapun yang terjadi 
Tempatkan dirimu yang terakhir, utamakan yang lain 
Dengan seksama, amati, pahami, dengarkan 
Tak melupakan segalanya ini

Dalam bayang rimba pinus di padang 
Hidup dalam gubuk beratapkan ilalang

Jikalau di Timur seorang anak sakit 
Pergilah ke sana dan rawatlah ia

Jikalau di Barat seorang ibu terlelahkan 
Pergilah ke sana dan lepaskanlah bebannya

Jikalau di Selatan seorang pria dalam sekarat 
Pergilah ke sana dan tenangkan ia dan katakan “Janganlah takut”

 Jikalau di Utara ada pertengkaran dan sengketa 
Pergilah dan yakinkanlah mereka bahwa itu adalah sia-sia 

Teteskan air mata dalam kekeringan 
Dalam dinginnya musim panas, terus membara 
Meski dengan rasa kehilangan 
Disebut si bodoh oleh semua 
Tanpa pujian dan tuduhan

 Seperti itulah aku ingin menjadi




ame ni mo makezu
kaze ni mo makezu
yuki ni mo natsu no atsusa ni mo makenu
jōbu na karada wo mochi
yoku wa naku
kesshite ikarazu
itsu mo shizuka ni waratte iru
ichi nichi ni genmai yon gō to
miso to sukoshi no yasai wo tabe
arayuru koto wo
jibun wo kanjō ni irezu ni
yoku mikiki shi wakari
soshite wasurezu
nohara no matsu no hayashi no kage no
chiisa na kayabuki no koya ni ite
higashi ni byōki no kodomo areba
itte kanbyō shite yari
nishi ni tsukareta haha areba
itte sono ine no taba wo oi
minami ni shinisō na hito areba
itte kowagaranakute mo ii to ii
kita ni kenka ya soshō ga areba
tsumaranai kara yamero to ii
hideri no toki wa namida wo nagashi
samusa no natsu wa oro-oro aruki
minna ni deku-no-bō to yobare
homerare mo sezu
ku ni mo sarezu
sō iu mono ni
watashi wa naritai

Sunday, 4 November 2018

BELAJAR PADA ALAM (Mokuso, Zen)

 Gambar mungkin berisi: 1 orang, teks dan luar ruangan
Aku pernah berlatih di sebuah danau, sendiri. Airnya sungguhlah tenang..., diam, tiada gejolak. Hanya ada hamparan teratai di atasnya yang kadang menari dan liukan pohon pinus yang tak kuasa menolak ajakan sang angin yang datang menggodanya untuk berdansa, melengkapi harmoni alam yang tercipta. 
Perlahan aku beranjak mengambil sebuah batu kecil dan melemparkannya ke tengah danau. Airnya beriak tiga dan bahkan hingga lima kali di setiap goresan kerikil yang memantul di air. Sesaat hening menghampiri. Aku mengambil batu yang lebih besar, melemparkannya lagi, riakan airnya lebih dahsyat, riuh berhamburan dalam tikaman batu yang menukik tajam membelah air. Aku terdiam, merenung, mencari, tenang, dan kembali diam. 
Masa berpindah, lalu pun berganti. Kini pengalaman di tepi danau mengingatkan kembali di "jalan ini", bahwa jika ucapan dan tindakan itu lebih tajam dari sebilah pedang maka jangan biarkan ia mengusik ketenangan. Ya, alam merupakan satu sumber pengetahuan yang bijak ketika kita bisa memaknai aksara-aksaranya.
"Sempatkanlah selami waktu dengan melihatnya dalam kesunyian agar kita bisa memahami apa arti sebuah suara." (Hezron Tandungan)

(Hezron Tandungan - Budoka, Praktisi Jalan Karate) *Pesan dari sebuah danau, Sulawesi Selatan, tahun 2004

Wednesday, 24 October 2018

SEPUCUK SURAT UNTUK TUAN

Tuanku, 32 tahun sudah saya melayani tuan. Ya...., tepat empat windu tuan, bersama kita melewati 6 keshogunan.
Awal mengenal tuan, saya hanyalah remaja kecil yang hampir tiap hari pulang dengan bekas memar, penuh gurat merah dengan kemarahan yang meluap-luap dan... ahh......tidak, mengingat itu hanya membuat saya tersenyum miris, terluka, menjadikan saya sungguh sangatlah kerdil. Saya sebagai kacung tuan akan tetap disisi tuan, melayani tuan meski beragam lirih silih berganti menghardik, namun tak goyahkan saya untuk berdalih, hilang bentuk dan terubah arah.
Tuanku, jangan berharap mencari saya sebab saya masih disini dan akan terus berada disamping tuan, menjaga dengan senjata yang tuan berikan kepada saya..., etika, tradisi dan kehormatan.
Terima kasih tuan, senjata itu telah membuat hamba punya sikap, menghargai arti sebuah kasih sayang dan perdamaian meski lipatan-lipatan tubuh ini terlatih untuk sebuah peperangan. Namun itu hanyalah sebuah bekal, sebab tak bisa dipungkiri bahwa terkadang perdamaian itu barulah tercipta dengan sebuah peperangan ketika harga diri terinjak dan kehormatan dibuat semena-mena.
Oh ya, saya pernah kehilangan tuan sepenggal masa,
dan lewat pengikut tuan mengirim banyak pesan kepada hamba, diantaranya bahwa "menang 100 kali dalam 100 pertarungan bukan hal biasa, tapi menang 1 kali tanpa pertarungan itulah yang luar biasa." Pesan tuan itu dan sekian banyak pesan tuan lainnya telah hamba terima. Sungguh tinggi arti sebuah perdamaian itu tuanku.
Demikian secarik surat pendek ini saya tulis sebagai pengingat bahwa tuan sungguh sangat berperan di jalan ini dan senjata yang tuan berikan akan tetap saya jaga hingga senjata itu diambil kembali oleh Yang Kuasa, terkubur bersama raga, termateraikan oleh takdir Sang Pemberi Hidup.
Tuanku,......
Onegaishimasu!
ttd
Hezron Tandungan: "Ketakutanku adalah ketika keberanianku beranjak dari tempat dimana seharusnya ia ada dan menetap."

Monday, 8 October 2018

"TANGAN KOSONG", HARGAI BUDAYA YANG MELEKAT PADANYA.....

.....seperti menghargai dan berupaya untuk tidak mengaburkan makna dari tulisan atau sebutan dari kata Senpai, Sempai, Sensei dan lain-lain dengan tidak menulis dan atau tidak menyebut itu dengan kata-kata: pay, pai, simpai, senpay, sempay, shenpai, simpey, sei, sey, sensai, sinsai, sense, shensai, kiyosi, dan lain-lain. Sangatlah dimaklumi apabila penyebutan dan penulisan yang keliru itu seringkali diucapkan oleh para kohai ataupun murid yang baru masuk serta belajar namun amatlah sangat lucu apabila pengucapan dan penulisan yang keliru itu juga dilakukan oleh seorang senior yang telah menggeluti "ryu"nya selama kurun waktu yang lama, atau bahkan telah diijinkan masuk dalam tradisi "okuden" yang memiliki pengabdian khusus pada seni beladirinya.

Ini mungkin bagi kita hanya satu kebiasaan dan kekeliruan yang ada namun bukan mustahil di suatu masa kebiasaan itu akan menuntun kita mungkin akan menyebut guru-guru kita dengan sebutan "shi" atau "han" untuk menyebut yang dimaksud shihan atau hanshi, atau "shi" atau "kyo" untuk menyebut yang dimaksud kyoshi, dan sebagainya yang semakin terangkum kebiasaan dan kekeliruan itu menjadi sebuah kesalahan yang tidak seharusnya kita lakukan. Dunia kita adalah "dunia kependekaran" dimana penghargaan atas sikap hormat, kesopanan, adab dan etika amatlah dijunjung tinggi. Demikian, Karate-Do adalah budaya Jepang (di dalamnya ada bahasa mereka yang perlu kita hargai juga) dan milik orang yang menggelutinya.
Mari menghargai semua itu dengan tidak berupaya untuk mengaburkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kita jangan hanya gerah ketika budaya kita dipermainkan, tetapi kita juga harus menjaga kesantunan dengan tidak menyepelekan bahasa (budaya) orang, apalagi itu menyangkut pula dengan tradisi kependekaran yang membesarkan kita.
Jika kita besar oleh Karate-Do maka mari kita besarkan Karate-Do tersebut beserta nilai-nilainya yang ada, dan bukan dengan mengambil satu bagian kecil saja, teknik misalnya sebab Karate-Do terjalin bukan saja dari teknik semata namun disana ada filosofi, etika, tradisi, dan lain sebagainya, termasuk bahasa (budaya) yang telah tersepakati wajib kita hargai. Bukankah salah satu tujuan sebenarnya Karate-Do adalah penempaan karakter praktisinya?
Kita boleh berlatih dalam kurun waktu yang lama, tetapi jika kita hanya menggerakkan kaki, tangan, melompat seperti boneka maka berlatih karate memang tak ubahnya seperti belajar menari. Kita tidak akan mencapai inti dari permasalahannya, dan tujuan sebenarnya "tangan kosong" hanya bisa kita gapai-gapai dalam gelap dan kegamangan, hasrat kita untuk memahami Karate-Do tak akan pernah tercapai.
Meskipun kita acapkali "menyakiti" Karate-Do tetapi ia terus dan akan terus berupaya membentuk karakter, memperbaiki tingkah laku, etika, menghargai tradisi, adab kesopanan, sikap hormat kita dalam bentuk ucapan maupun tindakan-tindakan nyata dari para praktisinya.
Maafkan saya, ini sekadar mengingatkan dari sesuatu yang selama ini kita (mungkin) lupakan dan anggap biasa. Mari kita menghargai "tangan kosong" itu dengan segala identitas yang melekat padanya.
Semoga bermanfaat. Arigato gozaimasu! ------
"Ketika sikap hormat dan etika tidak terpelihara di 'jalan budo', maka sebenarnya kita sedang berada pada dua persimpangan yang sama; tersesat ataukah hilang bentuk." (Hezron Tandungan).

(Hezron Tandungan - Budoka, Praktisi Jalan Karate)

JALAN KARATE DAN PEMIKIRANNYA YANG SEDERHANA

Pada dasarnya Karate-Do merupakan latihan-latihan berat yang akan membawa seseorang dapat kembali ke alam dan pemikiran dimana ia sepert...