Wednesday, 24 October 2018

SEPUCUK SURAT UNTUK TUAN

Tuanku, 32 tahun sudah saya melayani tuan. Ya...., tepat empat windu tuan, bersama kita melewati 6 keshogunan.
Awal mengenal tuan, saya hanyalah remaja kecil yang hampir tiap hari pulang dengan bekas memar, penuh gurat merah dengan kemarahan yang meluap-luap dan... ahh......tidak, mengingat itu hanya membuat saya tersenyum miris, terluka, menjadikan saya sungguh sangatlah kerdil. Saya sebagai kacung tuan akan tetap disisi tuan, melayani tuan meski beragam lirih silih berganti menghardik, namun tak goyahkan saya untuk berdalih, hilang bentuk dan terubah arah.
Tuanku, jangan berharap mencari saya sebab saya masih disini dan akan terus berada disamping tuan, menjaga dengan senjata yang tuan berikan kepada saya..., etika, tradisi dan kehormatan.
Terima kasih tuan, senjata itu telah membuat hamba punya sikap, menghargai arti sebuah kasih sayang dan perdamaian meski lipatan-lipatan tubuh ini terlatih untuk sebuah peperangan. Namun itu hanyalah sebuah bekal, sebab tak bisa dipungkiri bahwa terkadang perdamaian itu barulah tercipta dengan sebuah peperangan ketika harga diri terinjak dan kehormatan dibuat semena-mena.
Oh ya, saya pernah kehilangan tuan sepenggal masa,
dan lewat pengikut tuan mengirim banyak pesan kepada hamba, diantaranya bahwa "menang 100 kali dalam 100 pertarungan bukan hal biasa, tapi menang 1 kali tanpa pertarungan itulah yang luar biasa." Pesan tuan itu dan sekian banyak pesan tuan lainnya telah hamba terima. Sungguh tinggi arti sebuah perdamaian itu tuanku.
Demikian secarik surat pendek ini saya tulis sebagai pengingat bahwa tuan sungguh sangat berperan di jalan ini dan senjata yang tuan berikan akan tetap saya jaga hingga senjata itu diambil kembali oleh Yang Kuasa, terkubur bersama raga, termateraikan oleh takdir Sang Pemberi Hidup.
Tuanku,......
Onegaishimasu!
ttd
Hezron Tandungan: "Ketakutanku adalah ketika keberanianku beranjak dari tempat dimana seharusnya ia ada dan menetap."

Monday, 8 October 2018

"TANGAN KOSONG", HARGAI BUDAYA YANG MELEKAT PADANYA.....

.....seperti menghargai dan berupaya untuk tidak mengaburkan makna dari tulisan atau sebutan dari kata Senpai, Sempai, Sensei dan lain-lain dengan tidak menulis dan atau tidak menyebut itu dengan kata-kata: pay, pai, simpai, senpay, sempay, shenpai, simpey, sei, sey, sensai, sinsai, sense, shensai, kiyosi, dan lain-lain. Sangatlah dimaklumi apabila penyebutan dan penulisan yang keliru itu seringkali diucapkan oleh para kohai ataupun murid yang baru masuk serta belajar namun amatlah sangat lucu apabila pengucapan dan penulisan yang keliru itu juga dilakukan oleh seorang senior yang telah menggeluti "ryu"nya selama kurun waktu yang lama, atau bahkan telah diijinkan masuk dalam tradisi "okuden" yang memiliki pengabdian khusus pada seni beladirinya.

Ini mungkin bagi kita hanya satu kebiasaan dan kekeliruan yang ada namun bukan mustahil di suatu masa kebiasaan itu akan menuntun kita mungkin akan menyebut guru-guru kita dengan sebutan "shi" atau "han" untuk menyebut yang dimaksud shihan atau hanshi, atau "shi" atau "kyo" untuk menyebut yang dimaksud kyoshi, dan sebagainya yang semakin terangkum kebiasaan dan kekeliruan itu menjadi sebuah kesalahan yang tidak seharusnya kita lakukan. Dunia kita adalah "dunia kependekaran" dimana penghargaan atas sikap hormat, kesopanan, adab dan etika amatlah dijunjung tinggi. Demikian, Karate-Do adalah budaya Jepang (di dalamnya ada bahasa mereka yang perlu kita hargai juga) dan milik orang yang menggelutinya.
Mari menghargai semua itu dengan tidak berupaya untuk mengaburkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kita jangan hanya gerah ketika budaya kita dipermainkan, tetapi kita juga harus menjaga kesantunan dengan tidak menyepelekan bahasa (budaya) orang, apalagi itu menyangkut pula dengan tradisi kependekaran yang membesarkan kita.
Jika kita besar oleh Karate-Do maka mari kita besarkan Karate-Do tersebut beserta nilai-nilainya yang ada, dan bukan dengan mengambil satu bagian kecil saja, teknik misalnya sebab Karate-Do terjalin bukan saja dari teknik semata namun disana ada filosofi, etika, tradisi, dan lain sebagainya, termasuk bahasa (budaya) yang telah tersepakati wajib kita hargai. Bukankah salah satu tujuan sebenarnya Karate-Do adalah penempaan karakter praktisinya?
Kita boleh berlatih dalam kurun waktu yang lama, tetapi jika kita hanya menggerakkan kaki, tangan, melompat seperti boneka maka berlatih karate memang tak ubahnya seperti belajar menari. Kita tidak akan mencapai inti dari permasalahannya, dan tujuan sebenarnya "tangan kosong" hanya bisa kita gapai-gapai dalam gelap dan kegamangan, hasrat kita untuk memahami Karate-Do tak akan pernah tercapai.
Meskipun kita acapkali "menyakiti" Karate-Do tetapi ia terus dan akan terus berupaya membentuk karakter, memperbaiki tingkah laku, etika, menghargai tradisi, adab kesopanan, sikap hormat kita dalam bentuk ucapan maupun tindakan-tindakan nyata dari para praktisinya.
Maafkan saya, ini sekadar mengingatkan dari sesuatu yang selama ini kita (mungkin) lupakan dan anggap biasa. Mari kita menghargai "tangan kosong" itu dengan segala identitas yang melekat padanya.
Semoga bermanfaat. Arigato gozaimasu! ------
"Ketika sikap hormat dan etika tidak terpelihara di 'jalan budo', maka sebenarnya kita sedang berada pada dua persimpangan yang sama; tersesat ataukah hilang bentuk." (Hezron Tandungan).

(Hezron Tandungan - Budoka, Praktisi Jalan Karate)

JALAN KARATE DAN PEMIKIRANNYA YANG SEDERHANA

Pada dasarnya Karate-Do merupakan latihan-latihan berat yang akan membawa seseorang dapat kembali ke alam dan pemikiran dimana ia sepert...